Teks Berjalan

Assalammualaikum Wr, Wb, Selamat Datang di Situs Web saya, semoga bermanfaat kepada semua pengunjung, Jika ada saran dan kritik kirimkan ke adhifatra@gmail.com, terimakasih, wassalam

Sunday 13 June 2010

PDAM Benchmarking System

PDAM sebagai organisasi yang tugas pokoknya memberikan pelayanan air minum bagi kebutuhan pelayanan air minum bagi kebutuhan masyarakat yang saat ini cenderung berorientasi kepuasan pelanggan (costumer satisfaction), disisi lain juga sebagai perusahaan yang harus menjaga kesinambungan usahanya untuk mencapai sasran (Cost Recovery), mutlak memperhatikan aspek – aspek yang berhubungan dengan manajemen bisnis.
Sejalan dengan perkembangan waktu, pengelolaan PDAM semakin meningkat dan relative kompleks terhadap segala aspek yang mempengaruhinya baik internal maupun eksternal. Pada era reformasi di Negara kita sejak awal tahun 1998, terjadi perubahan struktur budya masyarakat yang juga berpengaruh pada sector air bersih. Paradigma pelayanan PDAM yang tidak memperdulikan stakeholdernya (khususnya pelanggan), akan berdampak negative terhadap kelancaran aktivitas operasional perusahaan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Menghadapi paradigma baru pelayanan public yang dahulunya hanya sekedar memenuhi kebutuhan, namun saat ini tidak lagi bersifat pasif melainkan sangat reaktif dan cenderung memberikan tekanan (pressure) kepada pelayanan yang dirasakan tidak memenuhi keinginannya. Dari kondisi tersebut, pengelola pelayanan public sebaiknya dapat menyesuaikan strategi objektinya kearah peningkatan kualitas pelayanan sesuai dengan harapan (ekspektasi) pelanggan yang selanjutnya diharapkan dapat memberikan kepuasan pelanggan.
Mencermati perkembangan tersebut, sebenarnya manajemen PDAM sejak dahulu telah berupaya melakukan suatu perubahan manajemen menuju perbaikan yang diinginkan. Hali ini terbukti adanya kegiatan “Studi Perbandingan” baik terhadap perusahaan sejenis (PDAM) maupun ke institusi/perusahaan yang dianggap mampu dijadikan contoh terbaik pengelolann perusahaan dimasa dating. Hanya saja kegiatan tersebut tidak terprogram dan terintegrasi dengan baik.
Dari gambaran diatas, dapat disimpulkan sebenarnya beberapa PDAM telah melakukan apa yang dinamakan “Benchmarking” dalam artian sempit, karena pada prinsipnya kegiatan studi perbandingan dan benchmarking memiliki sasaran yang hampir sama yaitu membandingkan sesuatu untuk dijadika model perbaikan/ penyempurnaan organisasi di masa yang akan dating. Hanya saja proses benchmarking memerlukan suatu rangkaian kegiatan manajemen yang terintegrasi dengan database yang sudah disusun sedemikian rupa dengan membentuk indicator penilaian yang terukur dan dapat diperbandingkan sesuai dengan spesifikasi kebutuhan/ sasaran yang diinginkan.
Dalam karya ilmiah ini, kami menyajikan bagaimana sebenranya konsep dasar Benchmarking System (BMS) itu sendiri dan bagaimana proses tersebut dikolaborasi dengan PDAM yang ada di Indonesia.


1.2. Sejarah dan Pengertian Benchmarking
1.2.1 Sekilas Sejarah Benchmarking
Penerapan benchmarking sebenarnya sudah lama dilakukan oleh berbagai perusahaan/ organisasi internasional, tetapi konsep ini begitu terkenal setelah dalam riset praktek terbaik diperolah informasi bahwa perusahaan kelas dunia menggunakannya secara optimal, terutama mengenai Manajemen Kualitas Terpadu (TQM).
Benchmarking sudh dimulai sejak tahun 1973, namun demikian pada awal tahun 1930-an para eksekutif muda dari perusahaan Toyota, Jepang telah mengunjungi pabrik mobil Ford di Amerika Serikat dengan maksud untuk mempelajai teknik-teknik produksi missal.
Dari aktivitas kunjungan tersebut, selanjtnya muncul teori yang dinamakan “JIT (Just In Time)” yaitu suatu konsep yang mengembangkan penyempurnaan secara terus menerus di tempat kerja (continuous improvement).
Penerapan konsep benchmarking secara modern dipelopori oleh perusahaan Xerox, Jepang pada tahun 1979, terutama yang dilakukan adalah menguji dan membandingkan apakah biaya perunit produksinya lebih tinggi dari pesaing-pesaing di perusahaan sejenis di Jepang.
Pada tahun 1988, seorang tokoh Baldridge National Quality Award bernama Bob Camp, menjadikan benchmarking sebagai salah satu syarat untuk menerima penghargaan tersebut. Pada tahun itu Xerox menjadi juara karena berhasil meningkatkan kualitas dan keuntungan berdasarkan penerapan praktek benchmarking.

1.2.2 Pengertian Benchmarking
Menurut kamus Webster didefinisikan dengan dua kata, yaitu Bench mark sebagai “titik rujukan untuk pembuatan ukuran”. Sedangkan dalam perspektif bisnis oleh Incorporation Corning, Benchmarking (satukata) adalah suatu proses untuk menemukan komponen pembeda yang kuat dari produk, jasa atau fungsi terhadap perusahaan-perusahaan terbaik dipasaran.
Benchmarking didefiniskan oleh Majalah NIES Benchmarking Selp Help manual yaitu proses sistematis untuk mencari dan memperkenalkan praktek terbaik dalam organisasi yang dilakukan guna meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya dan mengoptimalkan potensinya secara penuh.
Dari pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa secara umum benchmarking adalah suatu system tolok ukur untuk membndingkan kinerja, proses suatu organisai dengan organisasi yang lain melalui referensi tertentu.
Praktek benchmarking pada dasrnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas secara berkesinambungan, terutama dalam hal pengurangan biay dan peningkatan kecepatan proses produksi atau pelayanan. Adapun mamfaat yang diperoleh dari kegiatan benchmarking tersebut anatara lain adalah :
 Meningkatkan pemahaman mengenai system dan praktek internal dan eksternal organisasi.
 Menetapkan factor-faktor keberhasilan dan tolak ukur yang benar menganai produktivitas.
 Meningkatkan pemahaman atas kondisi eksternal yang mengarah pada tujuan-tujuan yang akan dicapai secara relevan.
 Menjadi lebih kompetitif diantara perusahaan sejenis.
 Menjadi lebih sadar mengenai praktek terbaik dalam manajemen.
 Meningkatkan semangat untuk melakukan suatu perubahan.
Atas dasar mamfaat yang diperoleh dari benchmarking dimaksud bahwa pada prinsipnya dalam melaksanakan kegiatan benchmarkin harus mengandung dua hal, yaitu :
1. Pengukuran dan pemahaman terhadap kinerja sendiri.
2. Pengukuran dan pemahaman terhadap kinerja orang lain.
Berdasarkan uraian diatas, sudah jelas dan tidak bisa lagi bahwa PDAM sebagai perusahaan pelayanan umum (public service) membutuhkan kegiatan “Benchmarking” sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja pelayanan dan menyesuaikan terhadap perubahan yang terjadi, khususnya dalam menyikapi paradigma baru palayanan air bersih. Hal ini dilakukan tidak lain untuk mengukur dan meningkatkan performansi perusahaan dalam upaya memenuhi kepuasan pelanggan (customer satisfaction).

1.3. Konsep Dasar Benchmarking
Sebagai dasar referensi agar apa yang akan dilakukan oleh PDAM dalam penerapan benchmarking dapat dipahami secara utuh, dibawah ini diuraikan prinsip-prinsip dasar proses pembentukan dan praktek benchmarking.
1.3.1 Sistematik
Benchmarking merupakan metode penelitian yang bersifat formal atau terstruktur, yang dilakukan untuk memperoleh praktek terbaik. Untuk ini itu ada beberapa model yang dapat dipilih sesuai dengan karakteristik perusahaan, yaitu :
a. Model berdasarkan data.
Merupakan model yang terbatas, karena hanya dilakukan terhadap data yang dilakukan terhadap data yang dimiliki oleh perusahaan yang menjadi mitra benchmarking.
b. Model berdasarkan proses.
Merupakan kegiatan benchmarking yang dilakukan dengan memperhatikan langkah-langkah yang ada dalam proses perusahaan terbatas pada mitra benchmarking.
c. Model berdasarkan orang.
Merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa strategi yang dijalankan oleh perusahaan yang menjadi mitra benchmarking.
d. Model berdasarkan strategi.
Model yang dilakukan dengan cara menganalisa strategi yang dijalankan oleh perusahaan yang menjadi mitra benchmarking.
e. Model terintegrasi.
Model yang mengintegrasikan seluruh model dengan maksud untuk memperoleh dukungan strategi dari atas sebagai pendorong proses yang seimbang.

1.3.2 Tipe Benchmarking.
Benchmarking dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, yaitu :
1. Benchmarking Internal.
Kegiatan benchmarking yang membandingkan terhadap operasi yang berlangsung dalam lingkungan internal organisasi.
Tujuan Benchmarking Internal :
Untuk mendefiniskan standar-staandar kinerja internal dalam organisasi.
2. Benchmarking Kompetitif.
Merupakan benchmarking yang berfungsi untuk produk/pelayanan dari perusahaan terhadap produk pesaing.
Tujuan benchmarking Kompetitif :
Untuk menciptakan atau meningkatkan daya saing serta mampu memperbaiki posisi produk dalam pasar yang kompetitif.
3. Benchmarking Fungsional..
Merupakan jenis benchmarking yang tidak harus membatasi pada perbandingan terhadap pesaing langsung, tetapi dapat melakukan investigasi pada perusahaan-perusahaan yang unggul dalam industri yang tidak sejenis.
Tujuan Benchmarking Fungsional :
Membandingkan system pengelolaan perusahaan terhadap industri yang spesifik untuk dijadikan keunggulana produk / pelayanan yang dalam prosesnya memerlukan imajinasi dan kreativitas yang tinggi.
4. Benchmarking Generik.
Merupakan jenis benchmarking dimana beberapa fungsi bisnis dan proses adalah sama tanpa memperdulikan ketidakserupaan atau ketidaksejenisan diantara industri-industri.

1.3.3 Model & Proses Benchmarking.
Setelah kita mengetahui tipe mana yang paling sesuai dengan karakteristik organisasi, amaka sebaaiknya langkah berikutnya harus mengenal bagaimana proses benchmarking seharusnya dilakukan. Sudah sepatutnya kita memahami proses yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan budaya organisasi. Menerapkan benchmarking dengan memperhatikan aspek budaya perusahaan dan pelanggan dinilai sebagai upaya yang terbaik utnuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Model benchmarking dimaksud dapat digambarkan pada gambar dibawah ini:

Benchmarking merupakan proses terstruktr yang menggambarkan kerangka kerja dasar bagi suatu perusahan untuk memperbaiki kinerja. Semua tipe/model adalah mungkin, tetapi yang paling penting dapat disesuaikan dengan persyaratan-persyaratan khusus bagi individu, kelompok dan organisasi. Kerangka kerja perlu didesain secara fleksibel dapat mendorong orang untuk memodifikasi seuai dengan kebutuhan dan persyaratan.
Ada baiknya dalam kesempatan ini dsajikan bagaimana langkah-langkah “Model Proses Benchmarking” yang dilakukan oleh Perusahaan Xerox, Jepang :
 Identifikasi subyek benchmarking.
 Identifikasi benchmarking partners
 Menetukan metode pengumpulan data
 Menentukan metode pengumpulan data
 Menentukan kesenjangan kompetitif sekarang ( Current Competitive Goals ).
 Merancang project future performance
 Mengkomunikasikan temuan-temuan untuk memperoleh tanggapan.
 Menetapkan sasaran fungsional.
 Mengembangkan rencana-rencana tindakan.
 Implementasi rencana dan monitoring kemajuan.
 Kalibrasi ulang (reimprovement) benchmark.
Faktor kunci untuk menetapkan apa yang dibenchmark adalah mengidentifiaksi keluaran atau hasil-hasil / unit-unit produk perusahaan. Dalam hal ini kita harus jeli melihat apakah produk yang dihasilkan dari perusahaan itu bersifat fisk (barang) yang dapat dilihat atau produk yang dihasilkan bersifat pelayanan/jasa.
Seperti halnya PDAM, produk yang dihasilkan cenderung bersifat jasa/ pelayanan, sehingga strategi objektif benchmarkingnya berorientasi pada kepuasan pelanggan (customer satisfaction). Untuk itu dalam pemilihan factor-faktor kritis keberhasilan yang akan di-benchmark sangat tergantung dengan kejelian dalam menetapkan indicator-indikator kinerja kunci yang daapat diperbandingkan secara akurat.
Bagaimana sebenarnya penerapan dari proses benchmarking yang praktis dan mudah dipahami, bagi pengelola pelayanan umum (public utility), seperti halnya PDAM, disajikan secara praktis lima langkah berikut ini :

BAB II
IMPLEMENTASI PDAM BENCHMARKING

2.1 Sekilas Pembentukan Benchmarking.
Pemerintah Indonesia sudah mulai membangun dan menerapkan Benchmarking pada tahun 2000, yang diprakarsai oleh Asosiasi perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) yang dananya diperoleh dari pinjaman ( Loan) World Bank dan sebagai sponsor adalah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
Proyek sistem benchmarking PDAM dimulai sejak tanggal 27 Maret. PERPAMSI sebagai koordinator sistem benchmarking bekerjasama dengan Tim Konsultan Prasetio Utomo-Arthur Anderson untuk membangun Benchmarking System Tahap 1 (BMS I).BMS I adalah suatu sistem database yang memuat imformasi kinerja PDAM seluruh Indonesia. Dibangunnya BMS I bertujuan membantu untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan PDAM (SWOT) yang diukur berdasarkan aspek–aspek teknis operasional, administrasi dan keuangan serta meningkatkan kinerja operasional dan non operasional secara berkesinambungan.
Adapun mamfaat yang diperoleh PDAM adalah :
 Kemudahan mengakses data mengenai kinerja PDAM seluruh Indonesia.
 Mengidentifikasi bidang0bidang yang dapat ditingkatkan oleh PDAM.
 Memberikan kesempatan kepada PDAM untuk menerima masuknya investor dan pihak pemberi dana lainnya untuk membantu memperkuat struktur PDAM.

2.2 Proses Pembentukan Benchmarking Tahap I
Secara global mekanisme pembentukan PDAM benchmarking dimulai dari pengumpulan data, Verivikasi Data, Entry Data dan Presentasi Hasil. Secara detail dapat disajikan dibawah ini :
 Data isian disediakan oleh PDAM secara tertulis dalam format hardcopy dan soft copy (disket) dikirim ke perpamsi yang terlebih dahulu diproses di KOMDA.
 Verifikasi awal dilakukan oleh KOMDA yang selanjutnya dilakukan oleh PERPAMSI dengan menggunakan standar deviasi dan analisi berdasarkan Laporan Keungan yang telah diaudit.
 Entry Data dilakukan oleh Tim Benchmarking Pusat dan data dianalisa oleh expert benchmarking bidang Keuangan dan teknis.
 Kegiatan selanjutnya dilakukan presentasi untuk umum yang disajikan dalam bentuk laporan dan CD-ROM.

Project awal pembentukan PDAM Benchmarking ditetapkan dalam Terms of Reference sebanyak 100 PDAM bersasaran untuk penyempurnaan efisiensi pengelolaan air minum. Sebagai pilot project dipilih sebnyak 15 PDAM sebagai representasi PDAM besar, menengah dan kecil dan dipilih dari berbagai kota di Indonesia. Hal ini diterapkan untuk melaksananakan diagnostic survey lapangan yang bertujuan mengetahui dan mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan untuk kepentingan penyediaaan data Benchmarking.
Dalam proses pembentukan benchmarking tersebut dia atas, didasarkan atas kode etik sebagai berikut :
 Motivasi kerjasama diantara peserta benchmarking adalah saling membantu dan mendukung.
 Kinerja terbaik kita harus saling membagi informasi sesame PDAM.
 Kinerja terburuk merupakan kesempatan kita untuk melakukan penyempurnaan.
 Sistem Benchmarking harus selalu dikembangkan untuk kepuasan dari kebutuhan seluruh peserta dalam rangka mencapai sesuatu yang lebih baik.
 Adanya komitmen dari PDAM dan Stakeholdernya bahwa sistem harus terus disempurnakan dari waktu ke waktu.

2.3 Implementasi Hasil.
Sebelum ditetapkan hasil rumusan benchmarking, terlebih dahulu dilakukan pelatihan sistem benchmarking, dengann tujuan sebagai berikut :
 Sebagai acuan dan implementasi untuk Sistem Benchmarking PDAM.
 Mendapatkan persepsi yang sama atas item-item dalam daftar indakator kinerja.
 Mampu melihat dan menterjemahkan hasil perhitungan dari ratio-ratio benchmarking.

Adapun sasaran dari pelaksanaan pelatihan benchmarking, antara lain :
 Tujuan dan sasaran dari sistem benchmarking PDAM.
 Indikator-indikator kinerja.
 Mekanisme sistem benchmarking PDAM.
 Bagaimana melakukan evaluasi kinerja PDAM.

Dalam implementasi sistem benchmarking PDAM indikator-indikator dibagi berdasarkan kepentingannya dengan pengukuran kinerja PDAM, yaitu berdasarkan :
a. Tingkat Kepentingan (bobot).
b. Aspek atau bidang.

Indikator kinerja berdasarkan tingkat kepentingan dikelompokkan menjadi tiga jenis :
1. Indikator Utama.
Indikator Utama yaitu indikator yang spesifik berkaitan erat terhadap pencapaian tujuan strategi dan memiliki pengertian dasar terhadap kelompok target investor, Pelanggan dan PDAM sendiri.
2. Indikator Penunjang
Indikator Penunjang yaitu indikator yang berkaitan erat dengan kinerja pDAM terhadap tujuan tertentu dlam tingkat kepentingan menengah.
3. Indikator Tambahan.
Indikator Tambahan yaitu indikator tambahan yang sewaktu-waktu dapat digunakan jika dianggap urgen dan penting sesuai dengan kebutuhan.

Jenis indikator utama dan penunjang merupakan indikator yang dinilai layak untuk dimplementasikan dalam sistem benchmarking PDAM.

Pada tahap I Pembentukan PDAM Benchmarking disusun berdasarkan delapang performance indicator (sector), yang dituangkan dalam 13 indikator utama dan 28 indikator pendukung.
Proses pembentukan benhmarking yang telah dimplementasikan pada prakteknya melibatkan 80 (Delapan Puluh) PDAM di Indonesia. Memperhatikan bahwa produk yang dihasilkan oleh BMS I dinilai belum dapat diterapkan secara maksimal. Adapun beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi oleh PERPAMSI, antara lain :
a. Adanya kesalahan data yang masuk.
b. Kesalahan dalam sistem verifikasi
c. Database yang kurang dipahami oleh User dan adanya kesulitan dalam prakteknya.
d. Kesalahan Sistem Skoring/ Rating
e. Terlalu Banyak Indikator.

Dari identifikasi permasalahan terseut, PERPAMSI memandang perlu untuk melanjutkan pembentukan Benchmarking System PDAM Tahap 2 (BMS 2). Pada BMS 2 diharapkan akan lebih fokus pada strategic objective PDAM dan Stakeholder yang berorientasi pada “Costumer Satisfaction & Cost recovery), selanjutnya keterlibatan aktif pihak PDAM akan menentukan keberhasilan pembentukan BMS 2.

No comments:

Post a Comment